Kamis, 27 Oktober 2011

Aku, Kau dan Kedai Kopi

           Aku tak pernah takut pada malam. Tidak pula panasnya mentari siang ini. Hanya satu, amarahmu yang kian mendidih ketika kau tahu aku kembali. Ya, kembali pada kebiasaan lamaku. Aku bukan tak menghiraukanmu, hanya tak bisa menghindari godaan yang akhir-akhir ini semakin menguat saja.
Semua bermula ketika Sawiji memberiku alamat sebuah kedai kopi yang baru dibuka. Ia bilang kedai yang satu ini sungguh mantap. Ia sendiri merasakan kedai itu sebagai candu yang membuatnya selalu kembali. Dan seperti biasa, aku akan langsung mencobanya sekalipun kau kembali menumpahkan kekesalanmu. Mungkin ketika itu aku akan menyesal, tapi akan selalu terulang lagi.
Akh, sayang, bukan aku tak lagi menginginkanmu lebih dari kopi-kopi itu. Namun ada sesuatu yang memaksaku untuk lebih memilih secangkir kopi ketimbang menghabiskan waktu membaca buku bersamamu. Dan bukan salahku jika kini kau sendiri duduk di depan televisi sembari bersungut-sungut menungguku pulang.
Aku tak mengerti sayang, apa yang membuatmu begitu membenci kedai kopi. Kau selalu bilang, rasa kopi dimanapun sama saja dan karenanya lebih baik kubuat sendiri saja kopi di rumah. Jika sesekali kuajak kau ikut, kau selalu mengelak dengan segala alasan. Jika sudah demikian bukankah sah-sah saja aku pergi sendiri?
Ya, benar sayang. Dulu aku pernah berjanji takkan lagi menginjakkan kaki di kedai kopi. Aku sudah berusaha sayang, namun jika tak mampu apakah itu dosa? Seperti ketika aku melarangmu untuk pergi ke kafe kesayanganmu bersama kolega-kolega yang sangat kau hormati itu. Sedikit pun tak pernah kau dengar kata-kataku.
Duuh sayang, maukah kau sesekali jangan memberengut seperti itu. Tak tahan aku melihatnya. Aku takut kau kelak akan lupa cara tersenyum. Jika sudah begitu siapa pula yang menyesal? Lagipula tak ada satu alasan jelas mengapa kau melarangku pergi ke kedai kopi itu.
Malam ini sayang, sekali ini saja. Biarlah aku menikmati sekedar nostalgi bersama secangkir kopi. Jangan dulu kau usik aku. Sebagai gantinya, kubiarkan kau berkutat dengan buku-buku tuamu itu semalam penuh.
“Sawiji, kedai kopi, Sawiji, Kedai kopi! Apa hanya itu yang ada dalam otakmu?!” Teriakmu suatu malam ketika aku hendak pergi. “Sebenarnya kau lebih sayang padaku atau Sawiji dan kopi-kopi itu?!” Kau bertambah berang ketika aku mempertahankan egoku.
Akh sayang, tidakkah kau mengerti? Sawiji, aku dan kopi ibarat akar, batang dan daun sebuah pohon. Sulit terpisah, jika berpisah maka kami akan mati. Bukan, bukan seperti hubunganku denganmu. Lebih karena kami sama dalam satu hal yang kebetulan kau tak menyukainya. Kecemburuanmu tak beralasan sayang. Apalagi Sawiji telah bersuami (jangan-jangan kau lupa jika kami sama-sama perempuan?).
Sayang, apa aku pernah mengeluh dengan keacuhanmu? Seingatku tidak. Tapi mengapa kau selalu protes dengan kesenanganku? Bukankah aku melakukannya setelah usai kewajibanku terhadapmu dan keluarga kita? Toh aku tak pernah lalai.
Hmm, aku tahu sayang. Mungkin kau merasa kini aku semakin tenggelam dengan kedai-kedai kopi yang ku sambangi. Padahal menurutku perhatian dan kasih sayangku tak pernah berkurang sedikit pun padamu. Aku tetap menghadirkan secangkir teh hangat di meja sebelum kau terbangun. Menyiapkan kemeja kerjamu, bahkan sesekali memberimu suapan langsung dari tanganku.
Ingatkah kau sayang? Dulu sebelum kita menikah, kau berkata padaku sembari setengah bercanda, “Aku akan selalu menerima apa adanya dan ada apanya dirimu. Sebab yang ku cintai adalah kau yang seperti ini, tanpa perubahan apapun.”
Ketika itu kau tak pernah sekalipun kau protes jika kuajak ke kedai kopi. Yang sebagai gantinya aku terpaksa ikut ke café mahal kesayanganmu itu. Dan ku anggap itu sebagai hal yang lucu sayang. Bukan apa, tapi seolah kita punya perjanjian tak tertulis untuk itu.
Aku tak membencimu lantaran itu sayang, dan aku tahu sekalipun kau acapkali kesal padaku itu tak cukup untuk membuatmu membenciku. Apalagi jika mengingat ketika kau mengejarku dahulu, lucu rasanya. Hampir setiap saat kau berlama-lama duduk di kedai kopi favoritku yang notabene kau benci hanya untuk menarik perhatianku. Aku sungguh ingat sekali sayang, kau tak bisa diam saat itu. Bergeser ke kiri-kanan, gelisah seolah ada bara di tempat dudukmu.
Lalu sayang, mengapa kau tak seperti itu lagi? Sungguh rindu aku pada romantisme nakalmu. Ketika kau mencuri pandang sembari sesekali melempar senyum. Akh, manis sekali kau dulu. Kau tak pernah lagi tersenyum seperti itu, aku merindukannya sayang.
Yah, namun kerinduan memang hanya sebatas itu, tak pernah lebih. Sebab ketiadaanmu di sisiku sudah menjadi kewajaran kini. Maaf sayang, bukan aku melupakanmu  dan kenangan-kenangan kita. Sungguh aku tak pernah dusta bahwa kau satu di hatiku. Sesalku bukan karena kau terlalu cepat pergi, namun karena tak sempat kuucap rasa cintaku yang sangat kepadamu.
Aku sangat mengerti akan kepergiamu sayang. Kasih sayangku memang tak cukup berharga bagimu. Namun setidaknya aku kini lega, mengetahui bahwa Tuhan mencintaimu lebih dari aku mencintaimu, dan Ia tak rela kau terus pusing karena ulahku. Semoga kau bahagia sayang, bersama Tuhan yang juga begitu kau cintai...

-Luh-
Jogja-2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar